Selasa, 03 Mei 2011

Celoteh Selembar Rasa

Oleh: Mohammad Firza
Malam melaju mencumbui fajar dengan tenangnya, namun kantukku tidak juga datang, hanya risau yang bergerayang pada akhir perjumpaan malam ini. Seperti sebongkah batu masuk dalam kepalaku, begitu berat, pusing menggelinding kesana kemari hingga aku terkesiap. Aku beringsut bangun. Menyeka keringat yang meleler tumpah ruah ke muka kusamku.
Tentu saja aku tidak bisa larut dalam ketenangan tidur. Di luar sana suara sumir tentang kisah kita begitu hingar terdengar. Sungguh memekak gendang telinga. Subuh  buta ini begitu dingin, sedingin liku yang menjadi laku antara kau dan aku. Kucoba sedikit demi sedikit menenangkan gejolak fikiran yang berkecamuk ini. fikiran kalut tentang haru biru kisah-kasih berkesah, antara kau dan aku.
Sejenak kemudian, kupandangi photo berukuran tiga kali empatmu yang sudah tujuh bulan ini bersemayam di dompet kusamku. Sepontan, sebuah senyum tersungging dari bibirku untuk sepotong memoar tentang dirimu. Waktu itu, Tentunya kau ingat bukan? Katika dulu kita pernah bertemu muka di sebuah Sekolah Menengah Atas. “Oka”, ya seperti itu aku memanggilmu. Entah, aku kurang begitu faham hingga nama “Oka” itu menyembul di balik nama yang kau punya, Simona Vauka. Ah, kenapa pula aku meributkan hal ini. Toh, aku sudah sangat senang bisa mengenalimu, terlepas panggilanmu apa.
Perjumpaan kita tak begitu lama, karena dalam ajaran baru di kelas satu itu kau menganjakkan kaki, pindah sekolah. Hanya nama beserta poni khasmu itu yang lengket dalam benakku.
Menjumpaimu lagi. setelah sekian lama tidak bersua. sepuluh tahun, kurang lebihnya seperti itu. Sebuah perjumpaan yang tidak pernah terfikirkan oleh kita berdua dalam reuni kecil, sekumpulan karib.
Kau tahu, mulai saat itu ribuan bibit sajak cinta terhadapmu mulai menyemburat dalam laju darahku. Bibit cinta yang aku sendiri bingung dari mana asalnya. Inilah salah satu sisi irasionalitas yang harus kita akui dalam keterbatasan rasionalitas kehidupan bukan? aku yakin kau setuju dengan itu.
Akhirnya, bersama kita menjalani larut. Menyibak tirai keheningan malam. Merangkaki waktu untuk sebuah kehidupan baru. Menggoreskan episode-episode rasa antara kau dan aku pada sebuah kanvas cinta.  
***
“Tidak mudah untuk bisa berdiri tegak sampai sekarang ini” teringat aku akan kata itu darimu. Ya, kau memang wanita kuat. aku mengakui itu. Sering aku membaca, menakar-nakar dari raut wajahmu. tergambar jelas, bahwa dirimu tidak ingin berlama-lama dalam romantisme hitam masa lalu. Tidak semua kaum hawa mampu untuk bertahan pada masalah-masalah suram yang menghujam dinding-dinsing tubuh mereka. Sungguh kuakui itu.  Hingga dalam sepetak senja, kita sepakat berikrar dengan sepotong sajak sakral yang kita kiblatkan “hitamku hitamu, dulu. Putihku putihmu, sekarang”.
Kini kita seiring-mengiring. berjalan di satu rel yang sama, kemana aku menapakkan kaki, di situ kakimu. Kau menggenggam tanganku, begitu juga sebaliknya aku. “Bukankah cinta itu adalah saling?” gumamku mengudara. Ya, aku rasa kau juga mengamini kata tersebut. aku sekarang larut dalam lagu-lagumu, melebur, menyatu pada solmisasi yang kurasa baru.
Saban hari, kita bercengkrama. Berdendang dengan nuansa berbeda. Nuansa yang kita anggap memiliki kenikmatan tersendiri. Mencibir setiap kata-kata sinis-meruncing tentang persaan kita, bercengkerama hangat tentang lingkungan, tentang negara, tentang ideologi, tentang Tuhan, tentang apa saja yang aku dan kamu rasa itu perlu diperdebatkan, sungguh aku menikmati nuansa ini. Bergelut dengan perbedaan tafsir yang mendengus dalam rongga rongga diri kita, bukan bergelut untuk menyulut api ribut, kita bergelut dalam akar yang menghargai arti masing-masing dengus. Antara apa yang bergerayang di otakku juga otakmu. Ah, kau memang istimewa.
***
Sampai dengan detik ini, setia adalah ideologi baru bagi kita berdua. Kemanapun nanar mata tertuju, setia akan selalu menunggangi otak masing-masing dari diri kita. Jika  boleh ku jelaskan padamu, setia yang kurasakan itu seperti perjumpaan hati kita pada segelas kopi __di sebuah warung__waktu itu. Sebuah memoar perjumpaan yang tak rusak termakan rayap-rayap waktu. Begitu awet mencengkram ruang-ruang otakku. Aku hanyut dalam romantisme yang sesungguhnya ini, sungguh.
Aku selalu mengatakan kepadamu tentang arti sebuah pengharapan. Pengharapan yang kusebut sebagai nafas bagi orang-orang semacam kita. Agar kau tahu, bahwa pergumulan jiwa__antara kau dan aku___membutuhkah nafas untuk tetap mekar. Inilah salah satu seni perjuangan yang selalu kita sebut-sebut itu.
***
Kemarin-kemarin kau sempat berkata lirih padaku “kepercayaanmu aku pegang di setiap terbangku”. Aku hanya tersenyum simpul. Bukan aku tidak percaya terhadapmu, bukan. Sungguh bukan itu. Ini mengingat jarakmu terhadapku yang begitu menyekat. Antara Jawa dan sumatera. Juga, aku agak sedikit risau saat para jantan lain di situ mengumbar senyum padamu. Bukankah kau sering berceloteh tentang itu?
Tetapi apapun itu, aku percaya terhadap kekokohan bangunan yang kita buat. Kita sudah sepakat menundukkan kepala pada bangunan ini. Aku hanya ingin menggiringmu untuk tidak lupa, bahwa dari bangunan inilah kita mampu saling mengecap.
***
Masih di penghujung malam. Bayanganmu begitu sabar menemani. Sungguh setia, sesetia penantianmu di ujung jalan ini.  Bergelayutan di pelupuk mata kanan dan kiriku. Inikah rindu? Ah, Aku rasa iya. Inilah rasa suci yang lahir dari rahim hubungan kita. Rasa yang akan selalu bergeming-gemerincing di sekat-sekat penantian sementara ini.
Sekarang handphone adalah teman setia bagi kita berdua. Teman yang selalu menemani laju waktu hari-hari kita. Sekali lagi, karena kau di sumatera dan aku di jawa. Hanya raga, bukan untuk jiwa. Karena jiwa kita tak mengenal ruang dan waktu bukan?
Kita bertemu dalam asa imajinasi. Saat kau marah, saat kau bersedih, saat kau senang, saat kau tertawa, saat kau manja, saat kau menjelma menjadi ibu bagi diriku, saat kau mejelma menjadi kekasih untukku, saat kau menjelma sebagai teman untuk berdiskusi denganku. Semua kita lewati dalam dunia imajinasi. Bertemu dalam sebongkah otak kepalamu, juga kepalaku.
Sudah selayaknya kita abadikan kisah bekesah ini. aku hanya ingin mengukirkan perjuangan kita dengan tinta emas. karena perjuangan ini memang harus dihargai. Dan sampai kapanpun akan sangat berharga bagiku.
Kau tentu tahu bagaimana perjuanganku terhadap keluargamu, yang sampai detik ini melihatku hanya dengan sebelah mata, mata kosong pula. Jelas aku harus berjuang agar tangan mereka mengelus kepalaku. Karena kau tahu sendiri alasan mereka seperti itu, materi. Meski kita sering saling seru, menyadarkan kebahagiaan bukan menyembul dari sana. Namun hal itu tidak berlaku untuk mereka. Melihat kondisiku sekarang, jelas aku harus mengais tanah untuk mapan seperti kelebatan benda-benda duniawi di mata mereka yang mengapi-api itu. Itu butuh perjuangan.
Kau juga masih ingat tentunya dengan satu dua orang laki di tempatmu, yang katanya mulai menempelkan mata dan hatinya itu padamu. Meski mereka tahu aku. Kau tahu, untuk menjagamu, Itu butuh perjuangan.
Kau ingat, pada rentetan malam-malam yang panjang. ketika aku mengurat untuk meyakinkanmu agar kau tetap meletakkan telingamu di dadaku. Ketika suara sumir dari teman sekumpulanmu tentang aku mengehembus kencang di telingamu. Kau ingat kan? Itu juga butuh perjuangan Kemudian tentang keberadaan raga kita, antara sumatera dan jawa. Itu juga jelas sangat membutuhkan perjuangan.
Aku menengadah di bawah langit. Mengadukan kegundahan ini. Entahlah, hingga memasuki subuh. Sudah ratusan seandainya datang dan pergi di kepalaku ini. Semua karena aku begitu menyanjung kesucian rasa antara kau dan aku. Kau tahu, janji terhadap rasa itu kuletakkan di keningku. Tempat di mana semua kebesaran bersarang untuk diagungkan.
***
Kembali lagi kucoba membaringkan tubuh lesu ini. Berharap kantuk menghampiri barang sejenak. Tetap tak bisa! Bayanganmu begitu kuat di pelupuk mataku. Kini lambaian tanganmu pada akhir perjumpaan waktu itu yang bergerayang. Baiklah. Aku pasrahkan saja semua bayanganmu ini menjamahiku. Siapa tahu aku terlelap dalam kasur kegelisahan. Karena aku tak mampu membendungnya. Semakin kubendung, semakin membuncah rasa kerinduan dan ketakutanku.

Senin, 14 Maret 2011

Somat

Oleh: Mohammad Firza
Sudah bebarapa hari ini kampungku sering disatroni maling, minggu kemarin sepeda onthel pak Mardi hilang, dua hari kemudian giliran bu Ropiyah, janda tua yang profesinya sebagai tukang urut rumahnya disatroni maling, perhiasan dan uang simpananya raib. Selang beberapa hari sapi keluarga pak Badar, yang kebetulan ketua RT sebelah hilang yang disisahin hanya tambang sama klonthengan nya saja.
Bener-bener nggak punya perasaan tu maling” celetuk kang Joko kepada kawan-kawannya disebuah warung kopi. “masak nggak liat-liat kalo’ mau maling, mbok yo orang-orang kaya yang dijadi’in korban, rumah mentri kek, rumah bupati kek, rumah anggota dewan kek, kalo’ perlu rumah pak presiden, lha, ini malah pak mardi yang di jadikan korban”. Dengan wajah bersungut kang joko kembali mengkrucutkan bibir menghirup kopi panasnya.
hihihi, sampeyan ini lucu ya” sahut Udin sambil menghisap rokok cap jambu bol. “namanya juga maling ya pasti nggak akan mikir mana si kaya dan mana si miskin, ada kesempatan pasti langsung disikat kang”.
Iyo mas, kemaren pak Badar sama bu Ropiyah juga jadi korban kekejaman para maling tersebut” timpal Maul yang dari tadi sudah mau ikut ngomong tapi ditahan-tahan karena melihat kang Joko ngomongnya kayak sepur. “ kasian ya, padahal kayak pak Mardi itu, orangnya udah tua, di rumah tinggal sendiri, pikun lagi” , “hush! kamu itu ul kalo’ ngomong yang sopan!” sahut Mbak Ni penjaga warung yang dari tadi menyimak pembicaraan para pemuda desa pengangguran itu. “biar begitu pak mardi itu jasanya didesa ini besar banget, nggak kayak kamu ul, yang bisanya ngritiiik tarus”.
sudah-sudah”, pak lurah yang baru datang di warung langsung menengahi perdebatan Mbak Ni dan Maul. “mbak kopi satu” pintanya ke mbak ni, sembari meletakkan tas kulit berwarna hitam kecoklatan yang sudah tampak usang, ke sebelah tempat duduknya.“ saya sudah dengar berita itu, malam ini sebaiknya kita kumpulkan masyarakat untuk musyawarah di balai desa”, pak lurah memang seorang sosok pemimpin yang cepat tanggap terhadap permasalahan apapun di desa ini, sosoknya yang gesit, tegas, konkrit dan merakyat inilah yang membuat pak carik di percaya oleh warga untuk terus memimpin desa ini, hingga lima priode berturut-tutut, sambil menyambar pisang goreng di depannya, kemudian pak lurah melanjutkan lagi,”dengan begitu, setiap warga bisa menyalurkan masukannya untuk keamanan untuk desa ini”.
maksudku tadi juga gitu mbak, kok sampeyan langsung nyosor kayak bebek gitu” sambil membernarkan kerah bajunya, layaknya seorang pejabat yang habis pidato, “halah, gayamu ul.ul.” timpal Mbak Ni cemberut melihat tingkah Maul yang menjadi-jadi.
iya saya, sependapat dengan pak lurah, kita kumpulkan warga untuk mengatasi masalah ini” tukas Joko yang dari tadi serius mendengar omongan Pak lurah.
be-te-we tadi dari mana Pak lurah? Kok nggak sama Pak carik?” Tanya Maul yang mulai bergegas keluar. “ini, dari kantor Camat, pak carik katanya tadi mau ada acara keluarga di Surabaya”. “O, gitu ya pak” timpalku, kasihan pak lurah sering di bohongi sama pak carik, tadi barusan aku ketemu dengannya di rumah agus sambil main judi, bisiku dalam hati.
Kemudian percakapan di warung kopi Mbak Ni pun berakhir.

***
Pendengar sekalian, hari ini tersangka kasus dana talangan bank century mulai terungkap, diduga banyak pejabat negara yang ikut terlibat dalam kasus tersebut,” suara warta berita di salah satu saluran radio yang sejak tadi dihidupkan oleh istriku meramaikan suasana hening di telingaku, “kalo nggak korupsi!, terorisme!, kalo nggak terorisme pertikaian!, gituuuu aja tiap hari, kayak gak ada berita lain aja, berita yang menyenangkan rakyat sedikit kenapa? masak beritanya melulu gitu, serem terus” mulutku terus bergumam mendengar berita berita yang seperti itu dari tadi,
biarin tho pak, nggak usah mikirin yang gituan yang penting kita bisa makan, bisa tidur nyenyak” tiba-tiba istriku menyahut dari belakangku “Oh ya, pak. tadi ada undangan dari pak RT kalo’ nanti ada rapat dibalai desa”, katanya sambil mangangkat jemuran yang dari tadi sudah kering.
undangan apa?” timpalku malas.
katanya sih, mau membahas masalah keamanan desa kita” sambut istriku masih mengangkati jemuran. “lho, emang ada kemalingan lagi tho buk?” tukasku dengan nada setengah bertanya.
sampeyan itu piye tho pak, wong berita udah nyebar kemana-mana kok masih tanya, isin aku” gumam isitriku sambil melipati baju jemuran yang barusan diangkat. “ makanya jadi orang itu mbok yo bergaul sama tetangga, biar tau berita-berita yang lagi hangat di desa ini. Nggak Cuma sibuk terus sama kambing. Lama-lama tak jual kambing-kambing itu pak!” .
Lha itu kan buat kita juga buk” timpalku mesam-mesem, sambil ku dekati istriku yang camberut kemudian memijat-mijat bahunya yang tambun “emang siapa lagi buk yang di satroni maling? Soalnya yang aku tahu pak Mardi sama bu Ropiyah ” pinta ku melas, “ pak Badar mas” jawab sitriku sambil melipat-lipat baju yang sudah usang. “oh,ya?, pak Badar RT itu?” . “inggeh mas” dengan nada sedikit malas istriku menjawab sambil berlalu meninggalkanku ke dapur, “ Kasihan pak Badar, udah tua, duda, anaknya di luar pulau semua” gumamku dalam hati.
ya udah buk, aku ntar datang, sekarang aku mau bersihkan gudang dulu di samping”
iya mas, banyak tikusnya itu” istriku menjawab dengan nada keras dari dapur”.
Kemudian aku bergegas ke kamar sebelah, sebuah kamar yang berdiamater Tiga kali Tiga Meter bercat puih yang sudah kecoklat-coklatan dihiasi dengan jaring labab-laba disetiap sudut ruangan, terasa nampak sekali kalau gudang ini sudah lama tidak pernah dibersihkan, semenjak pertama dibangun layaknya gudang-gudang lain, oleh bapakku dulu ruangan ini memang dirancang untuk menyimpan barang-barang bekas yang tidak digunakan lagi oleh keluarga kami namun sayang untuk dibuang, mainan masa kecilku pun masih tersimpan utuh di gudang ini.
Setelah tiga jam berlalu, capek juga rasanya membersihkan debu yang tebalnya hampir Dua Centi Meter yang tersebar diseluruh sudut gudang ini, kemudian setelah, selesai akupun mulai merapikan tumpukan kardus berdebu yang tidak tersusun rapi di depanku, kuperhatikan satu persatu kardus-kardus tersebut, mungkin sudah bertahun-tahun kardus-kardus ini disimpan digudang, sedikit penasaran akhirnya kulihat-lihat isi dalam kardus tersebut, banyak sekali tersimpan album foto masa kecil dulu, foto-foto masa kecil itupun mulai ku buka dan kuperhatikan satu-persatu, culun-culun banget, sampai-sampai aku cekikikan sendiri melihat foto-foto itu, tiba-tiba terlihat foto dua bocah gundul yang sedikit buram dan berdebu namun masih cukup jalas untuk dilihat, Ah, ini fotoku dengan teman akrabku dulu. Somat namanya, nama lengkapnya Ahmad Somat Jamaludin, sejak kecil dia mempunyai obsesi menjadi ulama dan pebisnis yang kaya raya, orangnya tidak terlalu pendek juga tidak terlalu tinggi, sedikit hitam, namun kalau sama teman, baiknya minta ampun. Aku pernah satu minggu berturut-turut ditraktir dia terus, kemudian pernah diberi mainan-mainan bekasnya hingga baju kesayangannya pun diberikan untukku. Didalam foto itu usiaku masih Empat belas tahun, satu tahun lebih muda dari somat, dia adalah teman sekelasku yang paling dekat denganku di SLTP kami berdua mempunyai tanda lahir yang hampir sama di lengan sebelah kanan, sebuah tanda kehitam-hitaman seperti tahi lalat tapi besar bentuknya, mungkin karena kesamaan tanda itulah yang menjadi salah satu faktor keakraban kami berdua, terbayang olehku saat kami waktu kecil dulu.
Jadi kau hanya bercita-cita jadi guru jang?’ bisiknya ketelingaku sedikit menyindir ‘buat apa jadi guru Jang, sudah capek gajinya kecil lagi’.
memanganya cita-citamu apa mat?’ timpalku bertanya sambil menyikati sapi-sapiku di sungai.
Aku pengen jadi ulama dan pebisinis yang kaya raya jang, kalo bisnis untuk keperluan di dunia, sedangkan ulama buat masa di akhirat kelak jang, nanti sambil ceramah agama, aku juga akan buka semacam perusahaan gitu jang, mantap nggak cita-citaku?’.
Iya-iya’ jawabku sambil mengangguk asal mengangguk.
Pak..pak. kopinya udah siap lho” panggilan suara istriku yang nyaring membuyarkan lamunanku bersama somat sahabat kecilku dulu. “jangan lupa undanganya setengah jam lagi pak” lanjut istriku masih tetap dengan suara cempreng-nya.
***
Sehabis sholat isya’,aku bergegas mengganti pakaianku dengan batik warisan kebanggaan bapakku dulu untuk pergi ke balai desa, tidak tahu jelasnya umur baju batik ini, soalnya dari mulai aku SD bapak sudah memakai baju batik ini, tak lupa dengan kopiah hitam hasil rajutan istriku sendiri.
Aku malaju dengan sepeda ontel warisan juga, saat mengayuh teringat lagi fhoto somat kawan karib ku tadi, dimana ya dia sekarang, sudah delapan tahu lebih tidak bertemu dia lagi, terakhir ketemu katika menghadiri pernikahan Siman anak guru kami waktu SLTP dulu, kebetulan dia datang juga di pesta itu. Fikirankupun mulai melayang ke pertemuan terakhirku waktu itu.
Hei Ujang!” sambil menerobos kerumunan orang, dia medatangiku dengan wajah yang berseri-seri. Mungkin karena terlalu lama tidak bertemu dengan kawan lamanya ini, fikirku.
hei Somat!” aku balik memanggil dia dan langsung memeluknya.
Kapan kamu kawin nyusul siman ma aku mat? Jangan lama-lama lho usia udah limit tuh. Hahaha nggak kok mat, aku Cuma bercanda tadi” tukasku sambil menepuk-nepuk bahunya.
Kabarnya cita-citamu sudah tercapai ya Jang, kamu jadi guru dimana?” tanyanya sambil menghirup sirup yang ada di meja depan kami. “ Alhamdulillah mat, cita-citaku untuk jadi guru sudah tercapai, sekarang aku ngajar di SLTP tempat kita dulu” bagaimana denganmu mat?” aku balik bertanya “ternyata mau jadi ulama plus pengusaha sulit jang, tapi Alhamdulillah usahaku lancer ini buktinya” sambil memperlihatkan kunci mobil BMW, “ namun untuk cita-cita jadi ulamanya masih belum sampai jang, yah mudah-mudahan bisa tercapai”.
Amiin, mudah-mudahan terkabul cita-citamu mat” jawabku sambil mengajak dia bertemu istriku.
Maliiing!maling! ada maliiiing!” teriakan orang kampung kembali membuyarkan lamunanku bersama sahabtku karibku, hampir saja aku menabrak salah satu warga yang sedang mangejar maling itu, kulihat Maul dan Udin sedang berlarian mengejar maling, “hei din, ada apa kok rame-rame?”. “nganu mas Ujang, ada maling barusan nyatroni rumah pak lurah” jawabnya sambil terengah-engah menahan nafasnya, wah nekat bener ni orang baru jam segini udah berani maling. “ya udah, aku ikut juga din” sambil tergopoh-gopoh kami berdua berlari mengejar maling tadi.
Selang beberapa saat kemudian, “dor!dor!dor!” terdengar keras bunyi tembakan petugas di dalam hutan, aku dan udin pun bergegas mengahampiri suara tembakan, tak lama kemudian sudah terlihat Pak Carik, Pak Mardi, Pak Badar, Aparat Kepolisian dan Masyarakat setempat sedang berkerumun melingkari seorang yang tergeletak tak bernyawa lagi akibat dadanya tertembus peluru panas petugas kepolisian tadi.
Malingnya sudah mati, tertembak barusan” bisik Joko pelan ke kupingku. “udah tahu identitasnya?” aku balik berbisik pelan di telinganya. “belum tahu kang, ini masih mau diselidiki ma Pak Polisi”.
Kemudian secara tidak sengaja aku melihat ada tanda hitam di lengan sebelah kanan persis seperti punyaku dan Somat. Ah tidak mungkin, tidak mungkin ini somat, tidak mungkin teman kecilku yang cita-citanya ingin jadi ulama dan pebisnis itu menjadi garong.
Tak lama kemudian pak polisi membuka topeng yang dipakai oleh maling yang sudah terkapar tersebut, “Astaga, benar kau rupanya mat!”.

*)Mohammad Firza; pembaca buku dan pengrajin tulisan bermukim di Jember. Saat ini bergiat di Komunitas Sosial Suka Sastra (Kaos-Sastra). Beberapa tulisan berupa opini pernah dipublikasikan oleh harian radar jember. Beberapa Puisi-puisi pernah dimuat di kompas.com.

Alamat: Perum Mastrip Blok E Nomor 2
Jember-Jawa Timur
Telepon: 085236363677

Rekening: BNI UNIT Universitas Jember atas nama Mohammad Firza No.Rek: 88045097

Pesan Tanpa Kata dari Kakek

(Diterbitakan Oleh kompas.com pada bulan mei 2010 http://oase.kompas.com/read/2010/05/27/06085678/Pesan.Tanpa.Kata.dari.Kakek)
  Pada sebuah altar senja, pandanganku terhalang oleh gundukan-gundukan tanah yang membisu, hanya semilir angin yang sesekali singgah berikut nyanyian derak ranting rekah yang berkolaborasi membentuk alunan solmisasi alam, pada bongkahan bongkahan kasar tanah ini aku teringat masa kecilku, masa kecil yang begitu manis yang tak pernah terlupakan dalam kehidupanku, sesekali ingatanku kualihkan pada seorang tua yang begitu gigih mencangkul di sepetak ladang kehidupanya, terlukis guratan-guratan pada kulitnnya yang legam terbakar matahari, terbalut lumpur-lumpur di setiap jengkal tubuhnya, pada sepetak sawah yang tidak terlalu lebar ini dia kaitkan hidup dan matinya untuk kelangsungan hidupnya dan sang cucu, orang  tua sang cucu telah meninggal dunia ketika sang cucu masih berumur 5 tahun, karena itu sang kakek menjadi ayah sekaligus ibu dari cucunya, istri sang kakek juga sudah tiada, mendahului dirinya untuk bertemu Sang khalik, hari-hari cucu dan sang kakek di habiskan pada sebuah gubuk reot yang mereka miliki.
Seperti biasanya ketika adzan subuh berkumandang kakek bergegas bangun dari tidurnya, dia relakan waktu istirahatnya yang pendek untuk mengumandangkan ayat-ayat-Nya, sang cucu yang masih belum genap berumur 10 tahun itu bergegas mengikuti langkah kakek menuruni lereng sungai dalam sebuah pagi yang buta untuk mengambil wudhu, hingga ikut menunaikan shalat subuh, meski sang cucu belum mengerti apa maksud ritual yang dia kerjakan itu, dan sesekali sang cucu sampai ketiduran dalam sujudnya tak tahu kalau sang kakek sudah membaca doa penutup shalat. Kakek kemudian beranjak membaca Al-Qur’an sehabis sholat subuh, yang sesekali menoleh kearah cucunya yang masih pulas tidur dalam kondisi sujud sambil menggaruk-nggaruk pantat temposnya.

“Le, pindah ke kasur sana,” perintah kakek pada sang cucu yang masih nungging sambil mendengkur, “iya, kek” jawab sang cucu asal meng-iyakan, tanpa merubah geraknya sedikitpun.

Sang kakek hanya menggleng-nggeleng melihat tingkah polah sang cucu yang begitu menggemaskan itu, kemudian kakek membopong sang cucu ke kasur berbahan kapuk rajutan sendiri, kain yang dipakai sebagai pembalut kasurpun terbuat dari kain poster para caleg yang tidak terpakai, sehingga pemandangan dikasurpun hanya gambar-gambar setengah badan para politkus narsis yang tidak dikenal oleh sang kakek.

Kebiasaan kakek setelah ritual tersebut langsung menanak nasi untuk sarapan pagi mereka berdua, pada dapur yang hanya terbuat dari seng usang yang tidak terpakai dengan lebar tak kurang dari satu setengah mater, kakek mulai meniupkan nafas yang terengah-engah lewat semprong bamboo pada tumpukan ranting-ranting pohon sebagai bahan bakar, dimulailah upaya penghidupan dengan dua genggam beras untuk makanan pagi.

Saat mentari mulai malu-malu menyembul dari balik dedaunan, kakek mulai melangkah kan kakinya menuju sepetak kehidupan di sawahnya, sang cucupun hanya dipesani untuk menjaga gubuk reot mereka, biasanya kakek pulang ketika jeda adzan maghrib mulai bergema, kakek selalu membawa sarung dan sajadahnya ke sawah untuk shalat dzuhur dan ashar.

Dalam kondisi itu sang cucu yang masih belum genap 10 tahun itu mau tidak mau dipaksa untuk menyiapkan makan malam mereka berdua, sesekali kalau kakek sudah pulang, kakek yang mempersiapkan masakan makan malam, sambal yang hanya berbumbu cabai Ketika malam mulai mencumbui senja sehabis shalat isya’ selalu sang kakek menyempatkan suaranya singgah pada dongeng-dongeng penghantar tidur untuk sang cucu.

Adalah cerita tentang Si Buta, sebuah dongeng yang sangat disukai oleh sang cucu, dongeng ini berkisah tentang seorang buta yang selalu di cemooh oleh teman-temanya karena kekurangan fisik pada matanya yang tidak ia hendaki, namun Si Buta tetap meberikan senyum dan sayang pada teman-temannya. Ini bermula pada suatu malam seorang buta tersebut bermimpi bertemu bidadari cantik yang turun dari kayangan, sang bidadaripun menghampirinya dengan berbisik lembut pada telinga Si Buta.

‘hai Si Buta janganlah kau bersedih hati dengan cemoohan teman-temanmu, berikanlah senyum dan rasa sayang kepada mereka nisacaya kau akan menerima timbal balik dari kebaikanmu itu’ ucap peri dengan suara merdunya, ‘apakah itu benar?’ tukas Si Buta, ‘benar wahai si buta, pada suatu saat nanti di bawah bantalmu aka nada sebuah cincin pemberianku untukmu, cincin tersebut akan mengobati matamu, pergunakanlah cincin itu untuk menolong sesama umat manusia.

Mimpi pada malam itu selalu terngiang-ngiang di benak Si Buta, sehingga pada suatu malam mimpinya menjadi kenyataan , ketika tangannya tak sengaja merogok bawah bantalnya ia temui sebuah cincin, tanpa fikir panjang ia oleskan mata cincin itu pada ke dua matanya, dan ternyata benar si buta kini sudah bisa melihat. Keesokan harinya berita itu tersebar ke seantero negeri, dan sampai pada telinga raja yang putrid cantiknya mengalami penyakit berisisik pada seluruh kulitnya, dia mengumumkan pada semua rakyatnya bahwa siapa yang mampu mengobati putrinya, jika laki-laki akan di persuntingkan dengan putrinya tersebut, jika perempuan akan di angkat sebagai keluarga istana.

Mendengar kabar tersebut si buta yang kini sudah tidak buta lagi mencoba cicin pemberian bidadari tadi untuk mengobati sang putri, ternyata benar ketika sisik-sisik yang mulai  menggranyangi badan sang putrid mengelupas dengan sendirinya ketika cincin itu di oleskan pada tubuh sang putrid, akhirnya si buta bahagia dengan sang putrid dan menjadi raja pada kerjaan itu.

Mungkin sudah lebih dua kali kakek bercerita tentang dongeng itu, tapi sang cucu tak pernah bosan mendengarnya, itu tidak lepas dari kepiawaian kakek dalam mendongeng, setiap dongeng yang diceritakan kakek selalu di kahiri dengan nasihat untuk sang cucu. Nasihat-nasihat dari kesimpulan cerita tersebut tak pernah hilang dari ingatan sang cucu, setiap bergaul dengan teman-tamannya, sang cucu mempraktikan nasihat cerita dari sang kakek, sehingga julukan sebagai anak jujurpun menempel pada diri sang cucu.
Hingga pada suatu hari saat sang cucu sudah menginjak umur 17 tahun, sang cucu pun berkata pada sang kakek.

“Dunia luar sudah memanggilku kek, aku ingin merantau mencari nafkah untuk makan kita berdua, sekarang kakek sudah tidak mampu lagi membajak sawah, jangankan ingin membajak, turun ke pematang sungai untuk wudhu pun sekarang kakek harus memakai tongkat” ujar sang cucu ke pada sang kakek, sang kakek pun tertegun sebentar, lalu berkata dengan berat hati “Memang sudah waktumu untuk mengenal dunia luar Le” ujarnya.

Kakek akan mendukung kalau niatmu sudah bulat” timpal kakek sambil mengasah aritnya tanpa menoleh kepada sang cucu.

Pada sebuah pagi yang beku bertabur gemercik rintikan hujan, kakek sedang menatap sang cucu dengan mata berkaca-kaca, Karena pada hari itu aku berangkat ke luar kota, terlihat sekali kakek memendam kesdihan yang sangat mendalam, pada kelopak mata yang mulai keriput itu dia sembunyikan air mata keharuan, sang cucu mulai menjulurkan tangaku ke padanya untuk pamit, didekapnya tubuh sang cucu erat-erat, tak terasa bulir-bulir air mata kakek mulai membasahi pipinya, pun begitu juga dengan sang cucu, diciumnya kening sang cucu, lalu kakek berpesan “sering-sering kirim surat buat kakek ya cu, kakek pasti merindukanmu” bisiknya setengah tersedan menahan tangis,

Bis yang ingin ke kota tujuanku tak memberikan waktu panjang buat ritual perpisahan sang cucu dengan sang kakek. Hidup itu memang kejam kek teriakku dalam hati yang berdegub kencang, tangankupun mulai melambaikan ke kakek yang sejak tadi sudah melambai.

Hari-hari setelah perpisahan itu hidup keduanya dihinggapi kesunyian yang mendalam, tak ada lagi dongeng terdengar, tak ada lagi dengkur sang cucu ketika usai shalat, tak ada lagi canda tawa di gubuk reot itu, semuanya menjadi hening, beku hilang ditelan kesunyian.

Hangat kerinduan kadang membakar hati mereka berdua, 5 tahun sudah sang cucu merantau, hanya lewat tulisan tangan sang cucu dan sang kakek bercumbu rindu, surat terkhir dari sang kakek hanya berisi beberapa patah kata dengan gaya tulisan yg dibuat besar-besar, jelas dari tulisan itu rasa kangen kakek benar-benar dalam “Le, kakek kangen kapan pulang?” hanya itu.
“Kapan datang Le?”

Celetuk suara seorang membuyarkan lamunanku pada sang kakek, ku tolehkan mukaku pada sekeliling gundukan tanah bisu, ku jumpai seorang perempuan paruh baya berkebaya cokelat dengan kerudung hitam, dialah bibiku yang merupakan keluarga satu-satunya didunia ini, 
“Oh Bi Inah, tadi malam aku datang kesini, dua minggu yang lalu kakek manyuruhku pulang,” timpalku sambil sungkem kepada Bi Inah, 
“Iya, mbok ya pulang dulu gitu, disini bibi juga kangen sama kamu Le,” tukasnya lembut sembari mencium keningku.

Kemudian kami berdua duduk di depan gundukan tanah bisu yang berhiaskan nisan, dengan ukiran kata Tiono lahir pada tanggal 20 desember 1945 Wafat pada tanggal 01 jnuari 2010, inilah makam sang kakek yang dulu begitu setia memberikan dongeng-dongeng kemanusiaan untuk sang cucu, yang dulu begitu tekun menggarap sepetak kehidupan di sawah gersangnnya, yang dulu setiap pagi menanak nasi untuk sarapan kami, yang dulu meneteskan air matanya untuk kepergian sang cucu. Tak di sangka perpisahan itu adalah pertemuan terkhir sang cucu dengan sang kakek.

“Manusia itu akan kembali lagi ke asalnya,” bisik bik Ina menghusap bulir ari mata keperihan di pipiku, “selamat jalan kakekku, terimaksih atas pesan pesan tanpa katamu selama ini” bisiku pada nisan bisu.