Selasa, 03 Mei 2011

Celoteh Selembar Rasa

Oleh: Mohammad Firza
Malam melaju mencumbui fajar dengan tenangnya, namun kantukku tidak juga datang, hanya risau yang bergerayang pada akhir perjumpaan malam ini. Seperti sebongkah batu masuk dalam kepalaku, begitu berat, pusing menggelinding kesana kemari hingga aku terkesiap. Aku beringsut bangun. Menyeka keringat yang meleler tumpah ruah ke muka kusamku.
Tentu saja aku tidak bisa larut dalam ketenangan tidur. Di luar sana suara sumir tentang kisah kita begitu hingar terdengar. Sungguh memekak gendang telinga. Subuh  buta ini begitu dingin, sedingin liku yang menjadi laku antara kau dan aku. Kucoba sedikit demi sedikit menenangkan gejolak fikiran yang berkecamuk ini. fikiran kalut tentang haru biru kisah-kasih berkesah, antara kau dan aku.
Sejenak kemudian, kupandangi photo berukuran tiga kali empatmu yang sudah tujuh bulan ini bersemayam di dompet kusamku. Sepontan, sebuah senyum tersungging dari bibirku untuk sepotong memoar tentang dirimu. Waktu itu, Tentunya kau ingat bukan? Katika dulu kita pernah bertemu muka di sebuah Sekolah Menengah Atas. “Oka”, ya seperti itu aku memanggilmu. Entah, aku kurang begitu faham hingga nama “Oka” itu menyembul di balik nama yang kau punya, Simona Vauka. Ah, kenapa pula aku meributkan hal ini. Toh, aku sudah sangat senang bisa mengenalimu, terlepas panggilanmu apa.
Perjumpaan kita tak begitu lama, karena dalam ajaran baru di kelas satu itu kau menganjakkan kaki, pindah sekolah. Hanya nama beserta poni khasmu itu yang lengket dalam benakku.
Menjumpaimu lagi. setelah sekian lama tidak bersua. sepuluh tahun, kurang lebihnya seperti itu. Sebuah perjumpaan yang tidak pernah terfikirkan oleh kita berdua dalam reuni kecil, sekumpulan karib.
Kau tahu, mulai saat itu ribuan bibit sajak cinta terhadapmu mulai menyemburat dalam laju darahku. Bibit cinta yang aku sendiri bingung dari mana asalnya. Inilah salah satu sisi irasionalitas yang harus kita akui dalam keterbatasan rasionalitas kehidupan bukan? aku yakin kau setuju dengan itu.
Akhirnya, bersama kita menjalani larut. Menyibak tirai keheningan malam. Merangkaki waktu untuk sebuah kehidupan baru. Menggoreskan episode-episode rasa antara kau dan aku pada sebuah kanvas cinta.  
***
“Tidak mudah untuk bisa berdiri tegak sampai sekarang ini” teringat aku akan kata itu darimu. Ya, kau memang wanita kuat. aku mengakui itu. Sering aku membaca, menakar-nakar dari raut wajahmu. tergambar jelas, bahwa dirimu tidak ingin berlama-lama dalam romantisme hitam masa lalu. Tidak semua kaum hawa mampu untuk bertahan pada masalah-masalah suram yang menghujam dinding-dinsing tubuh mereka. Sungguh kuakui itu.  Hingga dalam sepetak senja, kita sepakat berikrar dengan sepotong sajak sakral yang kita kiblatkan “hitamku hitamu, dulu. Putihku putihmu, sekarang”.
Kini kita seiring-mengiring. berjalan di satu rel yang sama, kemana aku menapakkan kaki, di situ kakimu. Kau menggenggam tanganku, begitu juga sebaliknya aku. “Bukankah cinta itu adalah saling?” gumamku mengudara. Ya, aku rasa kau juga mengamini kata tersebut. aku sekarang larut dalam lagu-lagumu, melebur, menyatu pada solmisasi yang kurasa baru.
Saban hari, kita bercengkrama. Berdendang dengan nuansa berbeda. Nuansa yang kita anggap memiliki kenikmatan tersendiri. Mencibir setiap kata-kata sinis-meruncing tentang persaan kita, bercengkerama hangat tentang lingkungan, tentang negara, tentang ideologi, tentang Tuhan, tentang apa saja yang aku dan kamu rasa itu perlu diperdebatkan, sungguh aku menikmati nuansa ini. Bergelut dengan perbedaan tafsir yang mendengus dalam rongga rongga diri kita, bukan bergelut untuk menyulut api ribut, kita bergelut dalam akar yang menghargai arti masing-masing dengus. Antara apa yang bergerayang di otakku juga otakmu. Ah, kau memang istimewa.
***
Sampai dengan detik ini, setia adalah ideologi baru bagi kita berdua. Kemanapun nanar mata tertuju, setia akan selalu menunggangi otak masing-masing dari diri kita. Jika  boleh ku jelaskan padamu, setia yang kurasakan itu seperti perjumpaan hati kita pada segelas kopi __di sebuah warung__waktu itu. Sebuah memoar perjumpaan yang tak rusak termakan rayap-rayap waktu. Begitu awet mencengkram ruang-ruang otakku. Aku hanyut dalam romantisme yang sesungguhnya ini, sungguh.
Aku selalu mengatakan kepadamu tentang arti sebuah pengharapan. Pengharapan yang kusebut sebagai nafas bagi orang-orang semacam kita. Agar kau tahu, bahwa pergumulan jiwa__antara kau dan aku___membutuhkah nafas untuk tetap mekar. Inilah salah satu seni perjuangan yang selalu kita sebut-sebut itu.
***
Kemarin-kemarin kau sempat berkata lirih padaku “kepercayaanmu aku pegang di setiap terbangku”. Aku hanya tersenyum simpul. Bukan aku tidak percaya terhadapmu, bukan. Sungguh bukan itu. Ini mengingat jarakmu terhadapku yang begitu menyekat. Antara Jawa dan sumatera. Juga, aku agak sedikit risau saat para jantan lain di situ mengumbar senyum padamu. Bukankah kau sering berceloteh tentang itu?
Tetapi apapun itu, aku percaya terhadap kekokohan bangunan yang kita buat. Kita sudah sepakat menundukkan kepala pada bangunan ini. Aku hanya ingin menggiringmu untuk tidak lupa, bahwa dari bangunan inilah kita mampu saling mengecap.
***
Masih di penghujung malam. Bayanganmu begitu sabar menemani. Sungguh setia, sesetia penantianmu di ujung jalan ini.  Bergelayutan di pelupuk mata kanan dan kiriku. Inikah rindu? Ah, Aku rasa iya. Inilah rasa suci yang lahir dari rahim hubungan kita. Rasa yang akan selalu bergeming-gemerincing di sekat-sekat penantian sementara ini.
Sekarang handphone adalah teman setia bagi kita berdua. Teman yang selalu menemani laju waktu hari-hari kita. Sekali lagi, karena kau di sumatera dan aku di jawa. Hanya raga, bukan untuk jiwa. Karena jiwa kita tak mengenal ruang dan waktu bukan?
Kita bertemu dalam asa imajinasi. Saat kau marah, saat kau bersedih, saat kau senang, saat kau tertawa, saat kau manja, saat kau menjelma menjadi ibu bagi diriku, saat kau mejelma menjadi kekasih untukku, saat kau menjelma sebagai teman untuk berdiskusi denganku. Semua kita lewati dalam dunia imajinasi. Bertemu dalam sebongkah otak kepalamu, juga kepalaku.
Sudah selayaknya kita abadikan kisah bekesah ini. aku hanya ingin mengukirkan perjuangan kita dengan tinta emas. karena perjuangan ini memang harus dihargai. Dan sampai kapanpun akan sangat berharga bagiku.
Kau tentu tahu bagaimana perjuanganku terhadap keluargamu, yang sampai detik ini melihatku hanya dengan sebelah mata, mata kosong pula. Jelas aku harus berjuang agar tangan mereka mengelus kepalaku. Karena kau tahu sendiri alasan mereka seperti itu, materi. Meski kita sering saling seru, menyadarkan kebahagiaan bukan menyembul dari sana. Namun hal itu tidak berlaku untuk mereka. Melihat kondisiku sekarang, jelas aku harus mengais tanah untuk mapan seperti kelebatan benda-benda duniawi di mata mereka yang mengapi-api itu. Itu butuh perjuangan.
Kau juga masih ingat tentunya dengan satu dua orang laki di tempatmu, yang katanya mulai menempelkan mata dan hatinya itu padamu. Meski mereka tahu aku. Kau tahu, untuk menjagamu, Itu butuh perjuangan.
Kau ingat, pada rentetan malam-malam yang panjang. ketika aku mengurat untuk meyakinkanmu agar kau tetap meletakkan telingamu di dadaku. Ketika suara sumir dari teman sekumpulanmu tentang aku mengehembus kencang di telingamu. Kau ingat kan? Itu juga butuh perjuangan Kemudian tentang keberadaan raga kita, antara sumatera dan jawa. Itu juga jelas sangat membutuhkan perjuangan.
Aku menengadah di bawah langit. Mengadukan kegundahan ini. Entahlah, hingga memasuki subuh. Sudah ratusan seandainya datang dan pergi di kepalaku ini. Semua karena aku begitu menyanjung kesucian rasa antara kau dan aku. Kau tahu, janji terhadap rasa itu kuletakkan di keningku. Tempat di mana semua kebesaran bersarang untuk diagungkan.
***
Kembali lagi kucoba membaringkan tubuh lesu ini. Berharap kantuk menghampiri barang sejenak. Tetap tak bisa! Bayanganmu begitu kuat di pelupuk mataku. Kini lambaian tanganmu pada akhir perjumpaan waktu itu yang bergerayang. Baiklah. Aku pasrahkan saja semua bayanganmu ini menjamahiku. Siapa tahu aku terlelap dalam kasur kegelisahan. Karena aku tak mampu membendungnya. Semakin kubendung, semakin membuncah rasa kerinduan dan ketakutanku.