Senin, 14 Maret 2011

Pesan Tanpa Kata dari Kakek

(Diterbitakan Oleh kompas.com pada bulan mei 2010 http://oase.kompas.com/read/2010/05/27/06085678/Pesan.Tanpa.Kata.dari.Kakek)
  Pada sebuah altar senja, pandanganku terhalang oleh gundukan-gundukan tanah yang membisu, hanya semilir angin yang sesekali singgah berikut nyanyian derak ranting rekah yang berkolaborasi membentuk alunan solmisasi alam, pada bongkahan bongkahan kasar tanah ini aku teringat masa kecilku, masa kecil yang begitu manis yang tak pernah terlupakan dalam kehidupanku, sesekali ingatanku kualihkan pada seorang tua yang begitu gigih mencangkul di sepetak ladang kehidupanya, terlukis guratan-guratan pada kulitnnya yang legam terbakar matahari, terbalut lumpur-lumpur di setiap jengkal tubuhnya, pada sepetak sawah yang tidak terlalu lebar ini dia kaitkan hidup dan matinya untuk kelangsungan hidupnya dan sang cucu, orang  tua sang cucu telah meninggal dunia ketika sang cucu masih berumur 5 tahun, karena itu sang kakek menjadi ayah sekaligus ibu dari cucunya, istri sang kakek juga sudah tiada, mendahului dirinya untuk bertemu Sang khalik, hari-hari cucu dan sang kakek di habiskan pada sebuah gubuk reot yang mereka miliki.
Seperti biasanya ketika adzan subuh berkumandang kakek bergegas bangun dari tidurnya, dia relakan waktu istirahatnya yang pendek untuk mengumandangkan ayat-ayat-Nya, sang cucu yang masih belum genap berumur 10 tahun itu bergegas mengikuti langkah kakek menuruni lereng sungai dalam sebuah pagi yang buta untuk mengambil wudhu, hingga ikut menunaikan shalat subuh, meski sang cucu belum mengerti apa maksud ritual yang dia kerjakan itu, dan sesekali sang cucu sampai ketiduran dalam sujudnya tak tahu kalau sang kakek sudah membaca doa penutup shalat. Kakek kemudian beranjak membaca Al-Qur’an sehabis sholat subuh, yang sesekali menoleh kearah cucunya yang masih pulas tidur dalam kondisi sujud sambil menggaruk-nggaruk pantat temposnya.

“Le, pindah ke kasur sana,” perintah kakek pada sang cucu yang masih nungging sambil mendengkur, “iya, kek” jawab sang cucu asal meng-iyakan, tanpa merubah geraknya sedikitpun.

Sang kakek hanya menggleng-nggeleng melihat tingkah polah sang cucu yang begitu menggemaskan itu, kemudian kakek membopong sang cucu ke kasur berbahan kapuk rajutan sendiri, kain yang dipakai sebagai pembalut kasurpun terbuat dari kain poster para caleg yang tidak terpakai, sehingga pemandangan dikasurpun hanya gambar-gambar setengah badan para politkus narsis yang tidak dikenal oleh sang kakek.

Kebiasaan kakek setelah ritual tersebut langsung menanak nasi untuk sarapan pagi mereka berdua, pada dapur yang hanya terbuat dari seng usang yang tidak terpakai dengan lebar tak kurang dari satu setengah mater, kakek mulai meniupkan nafas yang terengah-engah lewat semprong bamboo pada tumpukan ranting-ranting pohon sebagai bahan bakar, dimulailah upaya penghidupan dengan dua genggam beras untuk makanan pagi.

Saat mentari mulai malu-malu menyembul dari balik dedaunan, kakek mulai melangkah kan kakinya menuju sepetak kehidupan di sawahnya, sang cucupun hanya dipesani untuk menjaga gubuk reot mereka, biasanya kakek pulang ketika jeda adzan maghrib mulai bergema, kakek selalu membawa sarung dan sajadahnya ke sawah untuk shalat dzuhur dan ashar.

Dalam kondisi itu sang cucu yang masih belum genap 10 tahun itu mau tidak mau dipaksa untuk menyiapkan makan malam mereka berdua, sesekali kalau kakek sudah pulang, kakek yang mempersiapkan masakan makan malam, sambal yang hanya berbumbu cabai Ketika malam mulai mencumbui senja sehabis shalat isya’ selalu sang kakek menyempatkan suaranya singgah pada dongeng-dongeng penghantar tidur untuk sang cucu.

Adalah cerita tentang Si Buta, sebuah dongeng yang sangat disukai oleh sang cucu, dongeng ini berkisah tentang seorang buta yang selalu di cemooh oleh teman-temanya karena kekurangan fisik pada matanya yang tidak ia hendaki, namun Si Buta tetap meberikan senyum dan sayang pada teman-temannya. Ini bermula pada suatu malam seorang buta tersebut bermimpi bertemu bidadari cantik yang turun dari kayangan, sang bidadaripun menghampirinya dengan berbisik lembut pada telinga Si Buta.

‘hai Si Buta janganlah kau bersedih hati dengan cemoohan teman-temanmu, berikanlah senyum dan rasa sayang kepada mereka nisacaya kau akan menerima timbal balik dari kebaikanmu itu’ ucap peri dengan suara merdunya, ‘apakah itu benar?’ tukas Si Buta, ‘benar wahai si buta, pada suatu saat nanti di bawah bantalmu aka nada sebuah cincin pemberianku untukmu, cincin tersebut akan mengobati matamu, pergunakanlah cincin itu untuk menolong sesama umat manusia.

Mimpi pada malam itu selalu terngiang-ngiang di benak Si Buta, sehingga pada suatu malam mimpinya menjadi kenyataan , ketika tangannya tak sengaja merogok bawah bantalnya ia temui sebuah cincin, tanpa fikir panjang ia oleskan mata cincin itu pada ke dua matanya, dan ternyata benar si buta kini sudah bisa melihat. Keesokan harinya berita itu tersebar ke seantero negeri, dan sampai pada telinga raja yang putrid cantiknya mengalami penyakit berisisik pada seluruh kulitnya, dia mengumumkan pada semua rakyatnya bahwa siapa yang mampu mengobati putrinya, jika laki-laki akan di persuntingkan dengan putrinya tersebut, jika perempuan akan di angkat sebagai keluarga istana.

Mendengar kabar tersebut si buta yang kini sudah tidak buta lagi mencoba cicin pemberian bidadari tadi untuk mengobati sang putri, ternyata benar ketika sisik-sisik yang mulai  menggranyangi badan sang putrid mengelupas dengan sendirinya ketika cincin itu di oleskan pada tubuh sang putrid, akhirnya si buta bahagia dengan sang putrid dan menjadi raja pada kerjaan itu.

Mungkin sudah lebih dua kali kakek bercerita tentang dongeng itu, tapi sang cucu tak pernah bosan mendengarnya, itu tidak lepas dari kepiawaian kakek dalam mendongeng, setiap dongeng yang diceritakan kakek selalu di kahiri dengan nasihat untuk sang cucu. Nasihat-nasihat dari kesimpulan cerita tersebut tak pernah hilang dari ingatan sang cucu, setiap bergaul dengan teman-tamannya, sang cucu mempraktikan nasihat cerita dari sang kakek, sehingga julukan sebagai anak jujurpun menempel pada diri sang cucu.
Hingga pada suatu hari saat sang cucu sudah menginjak umur 17 tahun, sang cucu pun berkata pada sang kakek.

“Dunia luar sudah memanggilku kek, aku ingin merantau mencari nafkah untuk makan kita berdua, sekarang kakek sudah tidak mampu lagi membajak sawah, jangankan ingin membajak, turun ke pematang sungai untuk wudhu pun sekarang kakek harus memakai tongkat” ujar sang cucu ke pada sang kakek, sang kakek pun tertegun sebentar, lalu berkata dengan berat hati “Memang sudah waktumu untuk mengenal dunia luar Le” ujarnya.

Kakek akan mendukung kalau niatmu sudah bulat” timpal kakek sambil mengasah aritnya tanpa menoleh kepada sang cucu.

Pada sebuah pagi yang beku bertabur gemercik rintikan hujan, kakek sedang menatap sang cucu dengan mata berkaca-kaca, Karena pada hari itu aku berangkat ke luar kota, terlihat sekali kakek memendam kesdihan yang sangat mendalam, pada kelopak mata yang mulai keriput itu dia sembunyikan air mata keharuan, sang cucu mulai menjulurkan tangaku ke padanya untuk pamit, didekapnya tubuh sang cucu erat-erat, tak terasa bulir-bulir air mata kakek mulai membasahi pipinya, pun begitu juga dengan sang cucu, diciumnya kening sang cucu, lalu kakek berpesan “sering-sering kirim surat buat kakek ya cu, kakek pasti merindukanmu” bisiknya setengah tersedan menahan tangis,

Bis yang ingin ke kota tujuanku tak memberikan waktu panjang buat ritual perpisahan sang cucu dengan sang kakek. Hidup itu memang kejam kek teriakku dalam hati yang berdegub kencang, tangankupun mulai melambaikan ke kakek yang sejak tadi sudah melambai.

Hari-hari setelah perpisahan itu hidup keduanya dihinggapi kesunyian yang mendalam, tak ada lagi dongeng terdengar, tak ada lagi dengkur sang cucu ketika usai shalat, tak ada lagi canda tawa di gubuk reot itu, semuanya menjadi hening, beku hilang ditelan kesunyian.

Hangat kerinduan kadang membakar hati mereka berdua, 5 tahun sudah sang cucu merantau, hanya lewat tulisan tangan sang cucu dan sang kakek bercumbu rindu, surat terkhir dari sang kakek hanya berisi beberapa patah kata dengan gaya tulisan yg dibuat besar-besar, jelas dari tulisan itu rasa kangen kakek benar-benar dalam “Le, kakek kangen kapan pulang?” hanya itu.
“Kapan datang Le?”

Celetuk suara seorang membuyarkan lamunanku pada sang kakek, ku tolehkan mukaku pada sekeliling gundukan tanah bisu, ku jumpai seorang perempuan paruh baya berkebaya cokelat dengan kerudung hitam, dialah bibiku yang merupakan keluarga satu-satunya didunia ini, 
“Oh Bi Inah, tadi malam aku datang kesini, dua minggu yang lalu kakek manyuruhku pulang,” timpalku sambil sungkem kepada Bi Inah, 
“Iya, mbok ya pulang dulu gitu, disini bibi juga kangen sama kamu Le,” tukasnya lembut sembari mencium keningku.

Kemudian kami berdua duduk di depan gundukan tanah bisu yang berhiaskan nisan, dengan ukiran kata Tiono lahir pada tanggal 20 desember 1945 Wafat pada tanggal 01 jnuari 2010, inilah makam sang kakek yang dulu begitu setia memberikan dongeng-dongeng kemanusiaan untuk sang cucu, yang dulu begitu tekun menggarap sepetak kehidupan di sawah gersangnnya, yang dulu setiap pagi menanak nasi untuk sarapan kami, yang dulu meneteskan air matanya untuk kepergian sang cucu. Tak di sangka perpisahan itu adalah pertemuan terkhir sang cucu dengan sang kakek.

“Manusia itu akan kembali lagi ke asalnya,” bisik bik Ina menghusap bulir ari mata keperihan di pipiku, “selamat jalan kakekku, terimaksih atas pesan pesan tanpa katamu selama ini” bisiku pada nisan bisu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar