Senin, 14 Maret 2011

Somat

Oleh: Mohammad Firza
Sudah bebarapa hari ini kampungku sering disatroni maling, minggu kemarin sepeda onthel pak Mardi hilang, dua hari kemudian giliran bu Ropiyah, janda tua yang profesinya sebagai tukang urut rumahnya disatroni maling, perhiasan dan uang simpananya raib. Selang beberapa hari sapi keluarga pak Badar, yang kebetulan ketua RT sebelah hilang yang disisahin hanya tambang sama klonthengan nya saja.
Bener-bener nggak punya perasaan tu maling” celetuk kang Joko kepada kawan-kawannya disebuah warung kopi. “masak nggak liat-liat kalo’ mau maling, mbok yo orang-orang kaya yang dijadi’in korban, rumah mentri kek, rumah bupati kek, rumah anggota dewan kek, kalo’ perlu rumah pak presiden, lha, ini malah pak mardi yang di jadikan korban”. Dengan wajah bersungut kang joko kembali mengkrucutkan bibir menghirup kopi panasnya.
hihihi, sampeyan ini lucu ya” sahut Udin sambil menghisap rokok cap jambu bol. “namanya juga maling ya pasti nggak akan mikir mana si kaya dan mana si miskin, ada kesempatan pasti langsung disikat kang”.
Iyo mas, kemaren pak Badar sama bu Ropiyah juga jadi korban kekejaman para maling tersebut” timpal Maul yang dari tadi sudah mau ikut ngomong tapi ditahan-tahan karena melihat kang Joko ngomongnya kayak sepur. “ kasian ya, padahal kayak pak Mardi itu, orangnya udah tua, di rumah tinggal sendiri, pikun lagi” , “hush! kamu itu ul kalo’ ngomong yang sopan!” sahut Mbak Ni penjaga warung yang dari tadi menyimak pembicaraan para pemuda desa pengangguran itu. “biar begitu pak mardi itu jasanya didesa ini besar banget, nggak kayak kamu ul, yang bisanya ngritiiik tarus”.
sudah-sudah”, pak lurah yang baru datang di warung langsung menengahi perdebatan Mbak Ni dan Maul. “mbak kopi satu” pintanya ke mbak ni, sembari meletakkan tas kulit berwarna hitam kecoklatan yang sudah tampak usang, ke sebelah tempat duduknya.“ saya sudah dengar berita itu, malam ini sebaiknya kita kumpulkan masyarakat untuk musyawarah di balai desa”, pak lurah memang seorang sosok pemimpin yang cepat tanggap terhadap permasalahan apapun di desa ini, sosoknya yang gesit, tegas, konkrit dan merakyat inilah yang membuat pak carik di percaya oleh warga untuk terus memimpin desa ini, hingga lima priode berturut-tutut, sambil menyambar pisang goreng di depannya, kemudian pak lurah melanjutkan lagi,”dengan begitu, setiap warga bisa menyalurkan masukannya untuk keamanan untuk desa ini”.
maksudku tadi juga gitu mbak, kok sampeyan langsung nyosor kayak bebek gitu” sambil membernarkan kerah bajunya, layaknya seorang pejabat yang habis pidato, “halah, gayamu ul.ul.” timpal Mbak Ni cemberut melihat tingkah Maul yang menjadi-jadi.
iya saya, sependapat dengan pak lurah, kita kumpulkan warga untuk mengatasi masalah ini” tukas Joko yang dari tadi serius mendengar omongan Pak lurah.
be-te-we tadi dari mana Pak lurah? Kok nggak sama Pak carik?” Tanya Maul yang mulai bergegas keluar. “ini, dari kantor Camat, pak carik katanya tadi mau ada acara keluarga di Surabaya”. “O, gitu ya pak” timpalku, kasihan pak lurah sering di bohongi sama pak carik, tadi barusan aku ketemu dengannya di rumah agus sambil main judi, bisiku dalam hati.
Kemudian percakapan di warung kopi Mbak Ni pun berakhir.

***
Pendengar sekalian, hari ini tersangka kasus dana talangan bank century mulai terungkap, diduga banyak pejabat negara yang ikut terlibat dalam kasus tersebut,” suara warta berita di salah satu saluran radio yang sejak tadi dihidupkan oleh istriku meramaikan suasana hening di telingaku, “kalo nggak korupsi!, terorisme!, kalo nggak terorisme pertikaian!, gituuuu aja tiap hari, kayak gak ada berita lain aja, berita yang menyenangkan rakyat sedikit kenapa? masak beritanya melulu gitu, serem terus” mulutku terus bergumam mendengar berita berita yang seperti itu dari tadi,
biarin tho pak, nggak usah mikirin yang gituan yang penting kita bisa makan, bisa tidur nyenyak” tiba-tiba istriku menyahut dari belakangku “Oh ya, pak. tadi ada undangan dari pak RT kalo’ nanti ada rapat dibalai desa”, katanya sambil mangangkat jemuran yang dari tadi sudah kering.
undangan apa?” timpalku malas.
katanya sih, mau membahas masalah keamanan desa kita” sambut istriku masih mengangkati jemuran. “lho, emang ada kemalingan lagi tho buk?” tukasku dengan nada setengah bertanya.
sampeyan itu piye tho pak, wong berita udah nyebar kemana-mana kok masih tanya, isin aku” gumam isitriku sambil melipati baju jemuran yang barusan diangkat. “ makanya jadi orang itu mbok yo bergaul sama tetangga, biar tau berita-berita yang lagi hangat di desa ini. Nggak Cuma sibuk terus sama kambing. Lama-lama tak jual kambing-kambing itu pak!” .
Lha itu kan buat kita juga buk” timpalku mesam-mesem, sambil ku dekati istriku yang camberut kemudian memijat-mijat bahunya yang tambun “emang siapa lagi buk yang di satroni maling? Soalnya yang aku tahu pak Mardi sama bu Ropiyah ” pinta ku melas, “ pak Badar mas” jawab sitriku sambil melipat-lipat baju yang sudah usang. “oh,ya?, pak Badar RT itu?” . “inggeh mas” dengan nada sedikit malas istriku menjawab sambil berlalu meninggalkanku ke dapur, “ Kasihan pak Badar, udah tua, duda, anaknya di luar pulau semua” gumamku dalam hati.
ya udah buk, aku ntar datang, sekarang aku mau bersihkan gudang dulu di samping”
iya mas, banyak tikusnya itu” istriku menjawab dengan nada keras dari dapur”.
Kemudian aku bergegas ke kamar sebelah, sebuah kamar yang berdiamater Tiga kali Tiga Meter bercat puih yang sudah kecoklat-coklatan dihiasi dengan jaring labab-laba disetiap sudut ruangan, terasa nampak sekali kalau gudang ini sudah lama tidak pernah dibersihkan, semenjak pertama dibangun layaknya gudang-gudang lain, oleh bapakku dulu ruangan ini memang dirancang untuk menyimpan barang-barang bekas yang tidak digunakan lagi oleh keluarga kami namun sayang untuk dibuang, mainan masa kecilku pun masih tersimpan utuh di gudang ini.
Setelah tiga jam berlalu, capek juga rasanya membersihkan debu yang tebalnya hampir Dua Centi Meter yang tersebar diseluruh sudut gudang ini, kemudian setelah, selesai akupun mulai merapikan tumpukan kardus berdebu yang tidak tersusun rapi di depanku, kuperhatikan satu persatu kardus-kardus tersebut, mungkin sudah bertahun-tahun kardus-kardus ini disimpan digudang, sedikit penasaran akhirnya kulihat-lihat isi dalam kardus tersebut, banyak sekali tersimpan album foto masa kecil dulu, foto-foto masa kecil itupun mulai ku buka dan kuperhatikan satu-persatu, culun-culun banget, sampai-sampai aku cekikikan sendiri melihat foto-foto itu, tiba-tiba terlihat foto dua bocah gundul yang sedikit buram dan berdebu namun masih cukup jalas untuk dilihat, Ah, ini fotoku dengan teman akrabku dulu. Somat namanya, nama lengkapnya Ahmad Somat Jamaludin, sejak kecil dia mempunyai obsesi menjadi ulama dan pebisnis yang kaya raya, orangnya tidak terlalu pendek juga tidak terlalu tinggi, sedikit hitam, namun kalau sama teman, baiknya minta ampun. Aku pernah satu minggu berturut-turut ditraktir dia terus, kemudian pernah diberi mainan-mainan bekasnya hingga baju kesayangannya pun diberikan untukku. Didalam foto itu usiaku masih Empat belas tahun, satu tahun lebih muda dari somat, dia adalah teman sekelasku yang paling dekat denganku di SLTP kami berdua mempunyai tanda lahir yang hampir sama di lengan sebelah kanan, sebuah tanda kehitam-hitaman seperti tahi lalat tapi besar bentuknya, mungkin karena kesamaan tanda itulah yang menjadi salah satu faktor keakraban kami berdua, terbayang olehku saat kami waktu kecil dulu.
Jadi kau hanya bercita-cita jadi guru jang?’ bisiknya ketelingaku sedikit menyindir ‘buat apa jadi guru Jang, sudah capek gajinya kecil lagi’.
memanganya cita-citamu apa mat?’ timpalku bertanya sambil menyikati sapi-sapiku di sungai.
Aku pengen jadi ulama dan pebisinis yang kaya raya jang, kalo bisnis untuk keperluan di dunia, sedangkan ulama buat masa di akhirat kelak jang, nanti sambil ceramah agama, aku juga akan buka semacam perusahaan gitu jang, mantap nggak cita-citaku?’.
Iya-iya’ jawabku sambil mengangguk asal mengangguk.
Pak..pak. kopinya udah siap lho” panggilan suara istriku yang nyaring membuyarkan lamunanku bersama somat sahabat kecilku dulu. “jangan lupa undanganya setengah jam lagi pak” lanjut istriku masih tetap dengan suara cempreng-nya.
***
Sehabis sholat isya’,aku bergegas mengganti pakaianku dengan batik warisan kebanggaan bapakku dulu untuk pergi ke balai desa, tidak tahu jelasnya umur baju batik ini, soalnya dari mulai aku SD bapak sudah memakai baju batik ini, tak lupa dengan kopiah hitam hasil rajutan istriku sendiri.
Aku malaju dengan sepeda ontel warisan juga, saat mengayuh teringat lagi fhoto somat kawan karib ku tadi, dimana ya dia sekarang, sudah delapan tahu lebih tidak bertemu dia lagi, terakhir ketemu katika menghadiri pernikahan Siman anak guru kami waktu SLTP dulu, kebetulan dia datang juga di pesta itu. Fikirankupun mulai melayang ke pertemuan terakhirku waktu itu.
Hei Ujang!” sambil menerobos kerumunan orang, dia medatangiku dengan wajah yang berseri-seri. Mungkin karena terlalu lama tidak bertemu dengan kawan lamanya ini, fikirku.
hei Somat!” aku balik memanggil dia dan langsung memeluknya.
Kapan kamu kawin nyusul siman ma aku mat? Jangan lama-lama lho usia udah limit tuh. Hahaha nggak kok mat, aku Cuma bercanda tadi” tukasku sambil menepuk-nepuk bahunya.
Kabarnya cita-citamu sudah tercapai ya Jang, kamu jadi guru dimana?” tanyanya sambil menghirup sirup yang ada di meja depan kami. “ Alhamdulillah mat, cita-citaku untuk jadi guru sudah tercapai, sekarang aku ngajar di SLTP tempat kita dulu” bagaimana denganmu mat?” aku balik bertanya “ternyata mau jadi ulama plus pengusaha sulit jang, tapi Alhamdulillah usahaku lancer ini buktinya” sambil memperlihatkan kunci mobil BMW, “ namun untuk cita-cita jadi ulamanya masih belum sampai jang, yah mudah-mudahan bisa tercapai”.
Amiin, mudah-mudahan terkabul cita-citamu mat” jawabku sambil mengajak dia bertemu istriku.
Maliiing!maling! ada maliiiing!” teriakan orang kampung kembali membuyarkan lamunanku bersama sahabtku karibku, hampir saja aku menabrak salah satu warga yang sedang mangejar maling itu, kulihat Maul dan Udin sedang berlarian mengejar maling, “hei din, ada apa kok rame-rame?”. “nganu mas Ujang, ada maling barusan nyatroni rumah pak lurah” jawabnya sambil terengah-engah menahan nafasnya, wah nekat bener ni orang baru jam segini udah berani maling. “ya udah, aku ikut juga din” sambil tergopoh-gopoh kami berdua berlari mengejar maling tadi.
Selang beberapa saat kemudian, “dor!dor!dor!” terdengar keras bunyi tembakan petugas di dalam hutan, aku dan udin pun bergegas mengahampiri suara tembakan, tak lama kemudian sudah terlihat Pak Carik, Pak Mardi, Pak Badar, Aparat Kepolisian dan Masyarakat setempat sedang berkerumun melingkari seorang yang tergeletak tak bernyawa lagi akibat dadanya tertembus peluru panas petugas kepolisian tadi.
Malingnya sudah mati, tertembak barusan” bisik Joko pelan ke kupingku. “udah tahu identitasnya?” aku balik berbisik pelan di telinganya. “belum tahu kang, ini masih mau diselidiki ma Pak Polisi”.
Kemudian secara tidak sengaja aku melihat ada tanda hitam di lengan sebelah kanan persis seperti punyaku dan Somat. Ah tidak mungkin, tidak mungkin ini somat, tidak mungkin teman kecilku yang cita-citanya ingin jadi ulama dan pebisnis itu menjadi garong.
Tak lama kemudian pak polisi membuka topeng yang dipakai oleh maling yang sudah terkapar tersebut, “Astaga, benar kau rupanya mat!”.

*)Mohammad Firza; pembaca buku dan pengrajin tulisan bermukim di Jember. Saat ini bergiat di Komunitas Sosial Suka Sastra (Kaos-Sastra). Beberapa tulisan berupa opini pernah dipublikasikan oleh harian radar jember. Beberapa Puisi-puisi pernah dimuat di kompas.com.

Alamat: Perum Mastrip Blok E Nomor 2
Jember-Jawa Timur
Telepon: 085236363677

Rekening: BNI UNIT Universitas Jember atas nama Mohammad Firza No.Rek: 88045097

Tidak ada komentar:

Posting Komentar